Setiap orang pasti pernah ngerasain bagaimana susahnya mengambil suatu keputusan besar dalam hidupnya masing-masing. Baik keputusan dalam hal studi, pekerjaan, perasaan, pilihan hati, jalan hidup atau pun hal lainnya. Banyak hal yang kemudian menjadi bahan pertimbangan dalam proses pengambilan keputusan itu. Faktor perasaan, keinginan, finansial, lingkungan, idealisme dan lain-lainnya. Kalau sudah begitu baru kita menyadari betapa kompleksnya hidup ini.
Memang benar ini adalah hidup kita sendiri, dan kita harus bertanggung jawab penuh atas kehidupan yang telah kita pilih untuk kita jalani. Tetapi tidak bisa dipungkiri kalau ternyata banyak hal yang berpengaruh dalam kehidupan pribadi kita. Kita tidak bisa sepenuhnya mengatakan atau mengambil suatu keputusan berdasarkan keinginan hati kita semata-mata,pasti ada beberapa alasan atau faktor pendukung yang ikut mengambil peran dalam proses kita dalam mengambil suatu keputusan baik disadari maupun tidak disadari.
Tentu hal itu merupakan hal yang sangat lumrah terjadi mengingat manusia adalah mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari lingkungan-lingkungan di sekitarnya. Seperti yang telah dikemukakan oleh ahli sociology Talcott Parson bahwa "..manusia hidup dalam penjara institusi-institusi..” Institusi disini bukan hanya lembaga formal dalam arti harifiah tapi juga merujuk pada institusi-institusi informal yang ada dalam kehidupan sehari-hari seperti misalnya keluarga, lingkungan, sekolah, teman-teman, agama dan sebagainya.
Kalau sudah begitu mungkin kita akan mempertanyakan kembali makna kebebasan kita sebagai individu-individu sosial. Kebebasan merupakan hal yang sangat relatif, mengandung banyak aspek dan definisi. Kembali tergantung dari sudut mana kita melihatnya dan definisi seperti apa yang kita pergunakan.
Mengambil keputusan menjadi jauh lebih mudah apabila kita dihadapkan dengan kenyataan-kenyataan yang berada di zona aman kita, sebaliknya kita akan selalu diliputi ketakutan dan keragu-raguan disaat kita harus mengambil keputusan atas kondisi yang sebenarnya berada di luar zona aman kita (zona aman disini bisa diartikan sesuatu yang berjalan seiring dengan keinginan hati kita) yang kita sama sekali tidak tahu apa yang akan menanti kita disana.
Ketakutan akan konsekuensi yang harus kita hadapi sehubungan dengan keputusan yang kita ambil, ketidakyakinan diri akan kemampuan diri menjalani keputusan itu, kesangsian bahwa kita telah mengambil keputusan yang terbaik, keenganan untuk meninggalkan apa yang menjadi obsesi kita, keragu-raguan untuk melangkah menuju lembaran baru hidup kita.
Begitu banyak ketakutan dan keragu-raguan yang akan selalu membayangi kita di saat kita harus mengambil suatu keputusan besar dalam hidup kita. Disaat itu yang perlu kita lakukan adalah membuka mata dan melihat kenyataan-kenyataan yang ada. Kadang kita sering kali membutakan diri terhadap kenyataan yang terjadi dalam hidup kita. Kita hanya memusatkan perhatian terhadap apa yang menjadi keinginan kita tanpa peduli lagi akan kenyataan yang sebenarnya.
Kita menjadi orang yang hanya mampu menerima kenyataan bila kenyataan itu sesuai dengan apa yang kita inginkan. Kita sering kali mengabaikan kenyataan yang sebenarnya hanya karena kenyataan itu tidak sejalan dengan keinginan hati. Akibatnya kita menjadi orang yang membodohi diri sendiri, mengiming-imingi diri akan sesuatu yang tidak nyata, menyangkal kebenaran yang diberikan oleh kenyataan itu sendiri.
Seringkali orang menjudge dirinya sebagai orang yang realistis, namun pada kenyataannya orang itu bahkan tidak mampu mengenali atau bahkan tidak mau menerima realita-realita yang terjadi dalam hidupnya. Memang berbicara jauh lebih mudah daripada mempraktekannya. Hal yang terdengar sangat sederhana "REALISTIS" ternyata memerlukan keberanian dan kebesaran jiwa untuk mempraktekannya. Sudahkah anda menjadi orang yang realistis…? Saya sendiri menyadari dan mengakui bahwa saya termasuk dalam kelompok orang-orang yang tidak memiliki keberanian untuk membuka hati dan pikiran untuk menerima kenyataan-kenyataan yang terjadi dalam hidup saya dan memilih untuk berlari dari padanya. Saya termasuk ke dalam kelompok orang yang sering kali membentur-benturkan kepalanya ke tembok (udah tau tembok itu keras, ga mungkin bisa dilawan pakai kepala walaupun keras sekalipun kepalanya..ckckckck..). Tetapi akhirnya saya pun menyadari dan memutuskan untuk berhenti berlari sambil memulai proses pembelajaran diri menjadi orang yang mau membuka mata dan mampu menerima kenyataan, sepahit apapun itu, sehitam apapun itu.
*Courage is not the absence of fear but rather the judgement that something else is more important than fear, to look the reality itself..*
*Courage is not the absence of fear but rather the judgement that something else is more important than fear, to look the reality itself..*
No comments:
Post a Comment