Tuesday, May 18, 2010

Ujung Kulon: Sebuah Catatan Perjalanan 14 Mei 2010

Hari Jumat tanggal 14 Mei 2010 dini hari.
Terbangun tepat pukul 5, bersamaan dengan bunyi alarm Blackberry saya yang menyala.
Segera saya matikan, sebelum tetangga sebelah kamar pun ikut terbangun.
Memberi waktu beberapa menit kepada nyawa saya untuk kembali menyatu dengan raga ini, sebelum membangunkan suami.
Begitu suami saya terbangun, kami pun berdoa mengucap syukur atas hari yang baru dan seluruh berkat dan penyertaan Nya sepanjang perjalanan kemarin.
Usai berdoa, suami saya pun keluar mengambil air panas untuk membuat teh dan kopi.
Sementara saya pun bersiap, mengambil jacket yang tadi malem saya jemur karena basah.
Begitu menghabiskan minuman, kami pun segera keluar menuju ke dermaga.



Suasana pulau Peucang dini hari itu begitu sepi dan sunyi, hanya terdengar suara binatang2 dari dalam hutan dan suara babi hutan dari arah bawah rumah panggung (penginapan kami).
Setelah melintasi pos penjaga, dan mengucapkan selamat pagi pada petugas yang berjaga.
Kami pun langsung menuju dermaga, suasana di dermaga subuh itu luaaaaaar biasaaaaaaa indahnyaaaaaa. Semuanya berwarna biru, baik langit maupun laut. Dari mulai biru tua yang terus bergradasi menjadi biru muda seiring pagi menjelang.
Rombongan school fish yang luar biasa banyak terlihat jelas bermain-main riang bak anak-anak sekolah di bawah permukaan air yang begitu jernih dan tenang. Sambil sesekali melompat tinggi ke atas permukaan laut, mengusik keheningan pagi dengan gemericik air yang begitu indah.

Hati ini tiada henti2 nya memuji keindahan ciptaan Nya.
Begitu terkesima dengan lukisan alam yang membentang di depan mata...
Saya pun kehilangan kata2 untuk melukiskan betapa indahnya dini hari itu di pulau Peucang. Saya jadi tidak bisa membayangkan seperti apa indah nya nirwana...

Salah satu yang menjadi cita-cita saya sejak saya punya keinginan untuk pergi ke Ujung Kulon adalah menyaksikan matahari terbit dari pulau Peucang.
Dari beberapa informasi yang saya dapat mengenai Ujung Kulon, sunrise di pulau Peucang sangat indah. Dan saya pun dengan sabar menanti kehadiran MATAHARI ku.
Sambil terus berdoa supaya Tuhan bermurah hati memberikan cuaca yang cerah pagi itu supaya saya bisa melihat matahari ku keluar dari peraduan nya.
Mengingat beberapa hari terakhir cuaca di sini sedang tidak bersahabat karena pergantian musim Barat menjadi musim Selatan.

Kami pun beranjak meninggalkan dermaga, menyusuri pantai yang saat itu tertutup oleh air laut yang sedang pasang. Tanpa mempedulikan celana dan baju akan basah, kami pun masuk ke dalam air, menuju sisi Timur pulau Peucang menyongsong matahari terbangun dari tidur nya. Tuhan pun menjawab doa kami.


* The most beautiful sunrise that I've ever seen... *

Saya pun menyapa riang matahari ku, yang begitu indah pagi itu.
Mendekap nya erat dalam hati, terasa hangat sehangat sinarnya yang mulai memantul berkilauan di atas permukaan laut.
Selesai mengabadikan saat2 yang sangat indah itu, awan mendung pun berarak menutupi sang mentari... Praise the Lord.
Karena kemurahan hati Nya semata lah, kami dapat menyaksikan indahnya matahari terbit pagi itu. Karena tidak sampai 5 menit dari kami selesai foto2, sang mentari pun menghilang di balik awan, hujan pun turun membasahi bumi.
Bahagia rasanya hati ini.., karena matahari ku sudah ku dekap erat dalam hati.
Hati riang meskipun harus hujan-hujanan berjalan kembali menuju ke penginapan. :)

Sampai di penginapan, kami pun mengeringkan diri dan berganti baju.
Menyeruput minuman panas kami sedikit demi sedikit sambil duduk2 di teras depan penginapan sambil menikmati hujan ditemani biskuit keju, memandang lepas ke hutan belantara, tersenyum memperhatikan tingkah binatang2 yang kesenangan bermain air hujan di padang depan penginapan kami. Kesederhanaan yang terasa begitu mewah.
Ketika kami sedang mengambil foto serombongan monyet2 yang baru keluar dari hutan, tiba2 kami di beritahu oleh tamu penginapan yang lain, bahwa biskuit kami di ambil sama seekor monyet nakal yang langsung lari membawa biskuit kami ke tengah padang dan sibuk memakan nya sendiri. Temen2 nya minta ga di kasih. Dasar monyet pelit. Hahahaha:D

Sambil melihat cemilan kami satu2 nya di santap oleh monyet nakal itu, kami pun kembali memohon kepada Tuhan supaya hujan nya segera berhenti. (Kata Tuhan, nih orang kok banyak request yaa..? Xixixixi:p)
Lagi2 doa kami di kabulkan, setengah jam kemudian hujan pun berhenti dan langit pun mulai cerah kembali. Langsung kembali ke kamar, pakai baju renang dan ambil perlengkapan snorkel. Dan segera berjalan menuju ke pantai. Rencana nya pagi itu kami akan snorkeling di spot2 terdekat dengan pulau Peucang yaitu Cikembang dan Cikuya yang terkenal dengan hamparan koral yang luas dan berbagai macam jenis ikan.
Namun sayang berdasarkan informasi yang kami dapat dari pemandu lokal, tidak memungkinkan untuk snorkeling pagi itu di spot2 tersebut dikarenakan hari sebelumnya hujan turun terus dengan derasnya, maka visibility bawah laut tidak terlalu jernih. Di tambah arus yang muncul akibat pergantian musim. Akhirnya kita pun memutuskan untuk snorkeling di sekitar pulau Peucang saja, karena perairan nya yang tenang. Di perairan yang dalam, kita pun dapat menikmati gugusan karang dan kehidupan bawah laut yang indah. Ikan2 kecil berwarna warni berseliweran di antara koral2 yang indah. Saya pun melihat ikan badut di anemon laut. Dan berbagai jenis ikan yang saya juga ga familiar dengan bentuknya menari-nari di antara terumbu karang yang indah. Sayang kami ga punya under water camera, jadi hanya bisa menyimpan saat2 indah itu dalam memori kami. Menyenangkan sekaligus menenangkan.

Spot2 snorkeling andalan Ujung Kulon selain dua yang sudah saya sebutkan di atas juga ada di pulau Badul dan Citerjun. Namun di banding pulau Badul menurut pemandu lokal kami, terumbu karang di pulau Peucang jauh lebih indah. Ikan2 nya juga jauh lebih banyak.
Jenis ikan yang sering dijumpai baik di perairan laut ataupun sungai di Ujung Kulon diantaranya adalah ikan kupu-kupu, badut, bidadari, singa, kakatua, glodok dan sumpit.

Setelah puas snorkeling dan berenang ditemani oleh rombongan school fish (Udah kaya di fish spa aja, cuma kali ini sebadan2.), kami pun segera kembali ke penginapan. Sampai di penginapan, di tanyain sama mbak penjaga penginapan udah sarapan atau belum..? Err, belum. Berhubung pop mie nya tinggal 2, jadi kami skip breakfast supaya bisa di makan buat makan siang. Rencana nya mau sarapan biskuit keju, eh ga tau ya di ambil sama si notty monkey. :)
Mbak nya mungkin ga tega ngeliat kami ga makan dari tadi malem (padahal emang ga laper juga sih..) jadi dia tawarin untuk masakin kami indomie goreng dengan bonus ikan kwe goreng hasil pancingan td pagi dan teh manis panas. Yippiiiiiiie, maaaaciiiiiiiw ya mbak. Mbak baik sekali deh. :))
Nikmat banget begitu abis mandi dan keramas (dalam kegelapan karena listrik sudah dimatikan..), langsung menyantap hidangan yang sudah di sediakan oleh mbak yang baik hati itu. Tentunya kami pun memberikan uang lelah, walaupun awalnya dia menolak untuk menerima karena katanya dia tulus kok, dia hanya kasian sama kami kelihatan nya kok ga pernah makan. Iiiiih makin terharu ga sih? :(

Selesai makan, kami langsung menyiapkan barang2 dengan bantuan sinar dari jendela dan pintu (Listrik di penginapan hanya dinyalakan dari jam 6 sore sampai jam 6 pagi, itu pun dengan memakai genset jadi ya tetep remang2 disko gitu deh.), karena akan segera meneruskan perjalanan hari ini. Selesai packing, membereskan administrasi di kantor penginapan sekalian membayar biaya tiket masuk pulau Peucang, Cidaon, Tanjung Layar, dan biaya tambat perahu di pulau Peucang.
Pulau Peucang sendiri oleh Departemen Kehutanan dijadikan Pos petugas Taman
Nasional yang besar dan cukup lengkap selain di Desa Sumur, Desa Taman Jaya ,
Pulau Handeuleum dan Pos Tanjung Lame pintu gerbang Taman Nasional Ujung Kulon
yang terletak didekat rumah para nelayan terpencil, jadi kami bisa mengurus berbagai perijinan sekalian dari sini.

Begitu selesai dengan urusan administrasi, kami pun berpamitan kepada petugas pos dan langsung menuju kapal untuk segera berangkat ke Cibom, Tanjung Layar.
Kalau di pulau Peucang warna yang dominan adalah biru, di Cibom warna yang dominan adalah hijau. Dari mulai pepohonan, dan air laut semuanya begitu kontras berwarna hijau bagaikan emerald. Sungguh indah alam Ujung Kulon ini, bagai di nirwana...
Dari pulau Peucang menyeberang ke Cibom butuh waktu hanya sebentar, sekitar 20 menit.
Cibom ini terletak di ujung barat nya pulau Jawa.
Berhubung di Cibom ini tidak ada dermaga dan banyak karang di sekitar pesisir pantai, maka kapal harus berhenti di tengah laut (perairan yang dalam), dan kami harus melanjutkan perjalanan dengan menggunakan kano yang super duper kecil dan sempit. Yang bisa terbalik kalo tidak seimbang berat antara depan dan belakang. Ngebayangin nya aja udah males..hehehe:p
Jadi sebelum masuk ke dalam kano itu, saya dan pemandu lokal nya harus janjian posisi dan bener2 menyeimbangkan beban kita di kano itu, sambil di tahan oleh abk supaya ga kebalik ketika belum seimbang. Dan setelah berada di dalam nya, bener2 deh rasanya nih jantung turun ke perut.
Bukan nya apa kalo laut nya seperti laut di pulau Peucang yang tenang dan tidak berombak sih ga papa, lah ini lautnya berombak dan arusnya cukup besar dan kuat. Bikin lemes ga sih. Hasilnya, basah kuyup lah secara air laut nya pun masuk ke dalam kano. Hahaha:D
Sebenarnya, untuk ke Cibom orang harus menyewa boat kecil seharga 250rb rupiah. Tapi berhubung petugas di pulau Peucang berbaik hati sama kami, jadi kami di bawakan kano sekalian untuk di pakai menyeberang. Gratis, ga perlu bayar. Bisa hemat 250rb deh. :)
Dan sekali lagi saya sangat bersyukur atas kebaikan hati orang2 yang kami temui, berkat mereka kami mendapatkan pengalaman yang menyenangkan sekaligus menegangkan dan benar2 tidak terlupakan.

Lega banget rasanya ketika akhirnya bisa keluar dari kano itu dan menjejakkan kaki di atas pasir dengan selamat. Hehehe:p Daaaan ketika saya berdiri ternyata ada ikan2 kecil di dalam kano itu yang mungkin terbawa oleh ombak yang masuk ke kano. Segera saya kembalikan ikan2 kecil itu ke laut. Poor little fish!
Setelah menarik kano ke dataran yang lebih tinggi, saya pun bergabung dengan suami yang sudah sampai terlebih dahulu (kloter 1).
Kami pun berjalan melintas sungai kecil, menuju pos penjaga Cibom.
Dari situ foto2 bentar, terus langsung deh memulai agenda treking kita menuju Tanjung Layar. Di papan petunjuk tulisan nya lebih kurang 1km, tapi menurut pemandu lokal kami dan petugas ya lebih ke 1,6km siiiiih kalau + naik ke mercu suar yaaa 4km berarti pulang pergi. Yeaaaaah, siapa takuuuuut? Mari bergerak...

Dan di mulailah perjalanan kami melintasi hutan lebat dengan menyusuri jalan setapak yang saat itu dalam keadaan becek berat dan pepohonan di kiri kanan nya pun sudah mendominasi jalan karena hujan yang turun terus menerus. Untungnya pemandu lokal kami memimpin jalan sambil mengibaskan parangnya ke sana kemari, untuk membuka kembali jalan setapak yang sudah mulai tertutup oleh dahan2 pohon. Seru banget! Dari mulai terjeblos ke dalam lumpur, di belai lembut oleh dedaunan, di gigit gemes sama nyamuk malaria (Ujung Kulon ini gudang nya nyamuk berdarah dingin ini. Biasanya sebelum ke Ujung Kulon orang akan minum obat anti malaria dulu. Tapi saya dan suami nekat aja secara semuanya serba dadakan.), di colek lembut (boong banget..) oleh ranting2 berduri, melewati batang2 pohon besar yang tumbang menutupi jalanan, bener2 berasa ikut Amazing Race deh.
Didampingi oleh sandal merek ga jelas (Loufu) buatan Cina yang saya beli di ITC dengan harga 20rb yang udah lama banget, namun terbukti handal dalam menumpuh jalur off road seperti ini. Bahkan sandal Crocs yang dipakai suami saya dengan harga ratusan ribu itu nyaris wafat belum juga setengah perjalanan di tempuh. Ternyata ga selamanya harga menjamin mutu. Kesimpulan nya: Jangan pakai Crocs buat trekking, pakailah Crocs buat jalan2 di mall. Xixixi:p

Perjalanan nya relatif datar sebenarnya, tapi kami memilih untuk menuruni dan mendaki lereng untuk mencapai pantai karang yang ada di bawah mercu suar, terus kami pun memilih untuk mendaki 3 mercu suar itu sekaligus dari mulai mercu suar yang terbaru, yang kedua dan yang pertama banget di bangun di tahun 1808 (Di titik inilah ujung paling barat pula Jawa...) Kenapa ga? Udah sampai di Ujung Kulon sayang banget kalau ada objek yang terlewatkan. Kami pun melintasi bangunan penjara yang umurnya sudah lebih dari 1 abad, namun masih kokoh berdiri walaupun sudah tidak utuh lagi.
Sesudah puas memandangi samudera Hindia dari Tanjung Layar, kami pun kembali turun untuk menuju tujuan berikutnya, yakni padang penggembalaan yang kami lihat dari atas.
Padang ini biasa di gunakan orang2 untuk berkemah. Karena lokasinya yang sangat strategis. Dilindungi oleh tebing yang sangat tinggi di sisi kanan, dan karang2 yang tinggi dan besar dengan hempasan ombak yang pecah di batu. Beberapa batu dan karang besar dapat dipanjati, untuk mendapatkan sisi yang lebih tepat menikmati pemandangan indah ke Samudera Hindia.

Dari Tanjung Layar sebenernya saya ingin lanjut ke pantai Ciramea. Selain ingin melihat penangkaran penyu, Pantai Ciramea ini juga terkenal akan keindahan nya. Terletak diwilayah pantai selatan yang karakteristik ombaknya cukup liar, bergelora berbeda dibandingkan ombak teluk Carita yang relatif lebih tenang. Memiliki pemandangan yang sangat mencengangkan, hamparan pantai yang luas memanjang dengan tebing karang yang tinggi menjulang ke arah Gunung Payung disebelah selatan.
Namun karena keterbatasan waktu, terpaksa pantai Ciramea pun kami lewati.
Kembali ke Cibom, menyebrangi laut dengan kano yang berukuran XS itu menuju kapal kami yang masih setia menanti. Saat itu hujan sudah mulai turun, langit pun mendadak menjadi begitu gelap, ombak semakin agresif menunjukkan keindahan nya. Pemandu lokal kami mengatakan sudah badai di perairan luar sana, dengan ombak yang mulai mencapai 3m. Dengan cuaca seperti itu tidak mungkin kami berlayar ke pulau Handeleum. Karena sangat berbahaya. Lebih baik kami menghabiskan waktu di Cidaon, melihat padang savana tempat banteng dan badak.

Berhubung Cidaon memiliki dermaga sendiri, maka kami bisa merapat sampai ke dermaga.
Dengan berhujan2an kami pun kembali melakukan treking menyusuri hutan cidaon menuju padang savana. Menurut pemandu lokal kami, sebenernya saat itu bukan jam nya banteng2 badak2 itu untuk keluar tapi biasanya kalo hujan mereka suka bermain air. Dari berbagai informasi dan pengalaman teman2 yang aku dengar kebanyakan mereka kecewa karena pulang dari Cidaon dengan sia2 tidak berhasil melihat banteng/badak 1 pun (Kalau badak memang sangat sulit terlihat karena mereka jarang keluar ke padang, kalau banteng mereka punya jadwal yang cukup rutin tapi sangat sensitif dengan kehadiran orang. Dari jarak 100m, mereka bisa mengetahui kalo ada orang datang dan akan segera masuk kembali ke hutan tempat tinggal mereka). Jadi saya pun tidak berharap banyak. Berhubung saat itu waktu menunjukkan pukul 2 siang. Sementara waktu banteng2 itu keluar biasanya jam 6-8 pagi dan 4-6 sore. Ya minimal kami sudah sampai di tempat yang sangat terkenal dengan satwa-satwa langka itu.

Ternyata lagi2 Tuhan sangat bermurah hati kepada kami, karena dari kejauhan kami sudah melihat kerumunan banteng di padang savana. Kami pun memelankan langkah kami, nyaris mengendap2 untuk mencapai menara pengintaian. Beberapa banteng sudah mulai waspada dan menengok ke arah kami. Kami pun berhenti bak patung, tidak berani melangkah. Ketika mereka mulai sibuk kembali, kami cepat2 naik ke menara dan berusaha mengambil foto terbaik berhubung saat itu sedang hujan deras, jarak kami dengan banteng2 itu cukup jauh, dan kami hanya menggunakan kamera biasa di tambah lagi baterei kamera yang sudah mulai low. Hasilnya seperti yang kami kira buram. Kami pun tidak ingin melewatkan kesempatan langka itu tanpa dokumentasi, akhirnya kami turun dari menara pengintaian, mengendap2 di balik pohon berusaha mendekati banteng2 itu. Suami saya pun mengendap2 tanpa mengenakan alas kaki di antara ilalang untuk mengambil foto dari jarak yang lebih dekat lagi. Dan berhasil. Tepat setelah itu kamera kami pun mati total. :)

Foto yang penuh dengan perjuangan diambilnya, dengan resiko di seruduk banteng. :))
Sayang krn baterei udah low banget (itupun sudah dipaksa berkali2 supaya menyala.) suami saya tidak bisa men-zooming foto itu, tiap kali di zoom dan beet, kamera kami pun mati.

Kami pun kembali ke kapal dengan hati riang, menyimpan semua gambaran dan kenangan akan alam yang begitu indah di Ujung Kulon dalam hati kami masing2.
Dari Cidaon kami berlayar kembali ke pulau Peucang untuk mengembalikan kano yang dipinjamkan. Dan segera meneruskan perjalanan laut kami menuju Taman Jaya.
Sepertinya cuaca yang buruk sudah kami bayar dengan berhujan2an di Cidaon, dan Tuhan sekali lagi bermurah hati memberikan cuaca yang bersahabat dalam perjalanan kami menuju perairan lepas di Selat Sunda. Pukul 6 lewat kami pun tiba di dermaga Taman Jaya. Menumpang untuk berganti baju di penginapan Sunda Jaya sambil menikmati minuman panas suguhan pak tua sembari menanti Pak Komar yang sedang bersembahyang di Masjid.
Tak lama kami pun undur diri, mengucapkan terima kasih pada Pak Komar, pemandu lokal kami, dan pak tua yang sudah menjaga mobil kami.

Ujung Kulon, medio 2010. Pengalaman yang tak akan terlupakan.

Ujung Kulon: Sebuah Catatan Perjalanan 13 Mei 2010


Minggu lalu, saya dan suami melakukan perjalanan ke Ujung Kulon, Jawa Barat.
Perjalanan yang sebenernya sudah lama ingin saya lakukan, tapi belum terealisasikan sampai dengan minggu lalu.
Di jaman sekarang, di mana kebanyakan orang lebih memilih liburan yang mengutamakan kenyamanan daripada petualangan membuat saya agak sulit menemukan partner untuk pergi ke Ujung Kulon. Sejak menikah saya pun sudah mengutarakan keinginan saya untuk pergi ke Ujung Kulon ke suami, tapi karena satu dan lain hal rencana tersebut tetap mengendap di dasar hati tanpa ada kesempatan untuk mewujudkan nya. Sampai akhirnya minggu lalu, keinginan saya yang sudah lama terpendam pun menjadi kenyataan.

Hari Kamis tanggal 13 Mei 2010 dini hari.
Begitu bangun dan berdoa, kami pun bergegas mandi dan bersiap mengemas seluruh bawaaan yang sudah kami persiapkan dari semalam. Dari mulai baju renang, snorkel, sun block, charger kamera, baju ganti, p3k, obat2an, dsb. Selesai memasukkan seluruh barang bawaan ke mobil yang hanya terdiri dari 2 ransel + 1 tas snorkel set. Kami pun melewati dini hari dengan sarapan dan berbincang2 dengan orang tua saya mengenai rencana perjalanan yang akan kami lakukan.
Di tutup dengan berdoa bersama untuk perjalanan ini agar berjalan dengan lancar dan terhindar dari segala gangguan dan mara bahaya. Orang tua saya pun melepas kepergian kami tepat jam 6.30 pagi (Mundur 30 menit dari waktu yang sudah saya jadwalkan.)

Lansung menuju pompa bensin untuk mengisi penuh tangki bensin mobil kami.
Berhenti di Alfa Midi, untuk membeli persediaan air mineral, mie instan, pocari, dan cemilan ringan. Selesai berbelanja dan ambil uang di atm, kami pun berangkat menuju tol Merak.
Sebelum masuk tol, kami memutuskan untuk berhenti kembali di Mac D, Alam Sutra untuk membeli sarapan yang lebih berat berhubung kami akan melakukan perjalanan yang cukup panjang. Begitu urusan kampung tengah (baca: perut) beres, kami pun segera menuju Tol Merak. Ketika memasuki gerbang tol saya pun melirik jam yang ada di hadapan saya, saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 8 lewat sekian menit.

Perjalanan di sepanjang jalan tol Merak pun lancar, relatif sepi bahkan.
Setelah berhenti sebentar di tempat peristirahatan untuk ke kamar mandi, perjalanan kembali kami lanjutkan. Setelah sempat kebablasan dan muter kembali, akhirnya kami pun keluar di Serang Barat menuju Pandeglang. Berhubung mobil kami tidak dilengkapi oleh GPS, jadilah kami mencari arah Pandeglang secara manual. Alias bertanya kiri kanan, supaya jangan sampai kebablasan lagi. Hehehe:p
Berhubung petunjuk jalan juga sangat jarang dan nyaris tidak terlihat karena ketutupan pohon2. *sighs*

Rute kami pagi itu adalah: Tol Merak --> Keluar di Serang Timur atau Barat (dua-dua nya bisa.) --> Pandeglang --> Labuan --> Tarogong --> Tanjung Lesung --> Cigeulis --> Cibaliung --> Sumur --> Taman Jaya.

Sampai dengan Pandeglang, jalanan bisa dibilang cukup mulus. Begitu memasuki Labuan, hmm..berasa kaya naik kuda lah.., karena jalanan yang bolong di sana sini, dan berkelok2.
Di sepanjang Tarogong dan Tanjung Lesung, jalanan kembali membaik dan lurus2 aja.
Begitu memasuki Cigeulis, Cibaliung, dan Sumur jalanan kembali berkelok2, naik turun, dan berlubang2 dengan tikungan2 yang berbahaya. Lumayan terpental2 bagai bola bekel.
Dari Sumur menuju Taman Jaya, barulah off road yang sebenarnya di mulai. Kalau tadi di Labuan saya bilang berasa naik kuda, nah kalau di sini berasa naik rodeo ngamuk.
Jalanan udah ga berupa aspal yang berlubang2 lagi, tapi hanya tanah dan batu2 kali segede2 gaban dan lubang2 yang luar biasa dasyat nya. Sangat tidak disarankan untuk mobil jenis sedan krn pasti akan mentok kena mesin. Begitu juga untuk mobil2 yang ban nya udah tipis, karena bisa dipastikan ban anda akan bocor di tempat. Makanya di sepanjang daerah Sumur - Taman Jaya, banyak tersedia kios tambal ban dan bensin literan. Sekedar untuk informasi, pom bensin terakhir berada di Labuan. Sebenarnya di jalan menuju Tanjung Lesung juga ada, tapi saat itu tidak beroperasi entah kenapa.
Cuaca siang itu yang gelap karena hujan deras pun seringkali membuat mobil kami terjeblos keras dalam jebakan2 batman yang tidak bersahabat. Karena pandangan yang buram, dan lubang2 yang tertutup oleh genangan2 air.
Belum lagi dari tikungan2 yang berbahaya muncul elf atau truk dengan kecepatan tinggi yang cukup bikin sport jantung karena nyaris mencium mobil kami.

Perjalanan dari mulai kami memasuki tol Merak sampai dengan kami tiba di Sumur, kurang lebih memakan waktu 5 jam. Itu sudah termasuk kebablasan, berhenti kiri kanan untuk bertanya, dan berhenti 2 kali untuk ke kamar mandi.
Ketika tiba di Sumur, kami sempat salah jalan ke daerah dermaga pulau Umang (berhubung ga ada papan petunjuk jalan) dan saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 1 siang.
Perjalanan dari Sumur ke Taman Jaya, yang kami pikir sudah dekat (karena menurut informasi Pak Komar dari penginapan Sunda Jaya jarak dari Sumur ke Taman Jaya lebih kurang sekitar 16km.), ternyata memakan waktu 3 jam lebih! Karena kondisi jalanan tanah yang sangat hancur, di tambah lagi hujan membuat mobil terpaksa merayap dengan jarum kecepatan yang tidak melebihi angka 10. Bisa aja sebenernya kalau mau di paksa lebih dari 10, tapi resikonya as mobil patah, dan badan remuk redam karena terbanting kiri kanan, depan belakang. Xixixi:p Terlepas dari jalanan yang rusak berat dan sinyal Telkomsel yang on and off, on and off terus itu, kami sangat menikmati keindahan alam di Ujung Kulon. Di sepanjang kiri jalan dari Sumur menuju Taman Jaya, mata kami di hibur oleh keindahan Gunung Honje yang di selimuti kabut sore itu, sawah2 hijau yang membentang luas di kaki gunung Honje, muara sungai kecil yang airnya jernih, rumah2 penduduk yang begitu bersahaja menyatu dengan alam, di sepanjang kanan jalan membentang Selat Sunda yang sore itu terlihat begitu abu2 karena cuaca yang buruk.


Akhirnya dari jadwal yang semula saya perkirakan kami akan tiba di Taman Jaya sekitar pukul 1 siang, kami pun baru tiba di depan Sunda Jaya (penginapan milik pak Komar, pemilik perahu nelayan yang kami sewa.) pukul 4 lewat. Jam makan siang sudah lama berlalu. Untung saja tadi pagi kami memutuskan untuk makan Mac D, sehingga kami bisa bertahan sekian lama. Begitu ketemu pak Komar, kami pun di suguhi minuman hangat dan makanan ringan yang terasa sangat nikmat setelah perjalanan darat yang sangat luar biasa itu...
Setelah beristirahat sejenak serta berbincang2 dengan pak Komar di bale samping penginapan nya, kami pun menyantap pop mie sebagai makan siang kami yang sangat terlambat. Entah kenapa siang itu saya memang tidak terlalu merasa lapar, mungkin karena perutnya udah kenyang duluan sehabis di kocok2 di sepanjang perjalanan. :)

Sambil menunggu kapal nelayan yang akan mengantar kami ke Pulau Peucang siap, kami melanjutkan obrolan hangat di sore hari yang gerimis dengan pak Komar. Beliau adalah veteran WWF yang kemudian memutuskan untuk berhenti dan melakukan usaha penginapan sambil berusaha memajukan kehidupan masyarakat di desa nya. Banyak sisi kepahitan dari kehidupan penduduk setempat yang kami dengar, membuat hati ini nyut2an dihadapkan dengan kebesaran hati masyarakat yang termaginalkan. Namun tak sedikit kisah mengenai perjuangan yang membuat hati mengharu biru karena salut dan bangga akan kearifan penduduk setempat yang bersahaja namun teguh berdedikasi bagi tanah kelahiran yang di cintai dan di banggakan termasuk mendiang ayahnya pak Komar yang pernah mendapatkan penghargaan Kalpataru dari mantan presiden Soeharto, atas pengabdian dan dedikasi beliau kepada Taman Nasional Ujung Kulon.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore, sang nahkoda kapal, abk dan pemandu lokal kami pun sudah siap berangkat. Kami pun menyiapkan barang2 yang akan di bawa, memitipkan mobil ke pak tua yang ada di Sunda Jaya. Berpamitan pada pak Komar, berterima kasih atas suguhan minuman dan makanan yang diberikan, juga kesediaan beliau untuk berbagi kisah dan pengalaman hidup nya bersama kami. Untuk inspirasi yang diberikan bagi kami (yang merasa diri sebagai orang kota), tapi cara pikir dan kedewasaan dalam memandang kehidupan ini jauh tertinggal di bandingkan mereka yang termarjinalkan.

Menyusuri perkampungan penduduk Taman Jaya menuju ke dermaga bersama rombongan kapal, kami pun di sambut oleh senyum ramah orang2 tua yang sedang bersantai di depan rumah mereka, diikuti juga oleh hiruk pikuk kelompok anak2 kecil yang berteriak2 ada bule, ada bule, ada bule... (??)
Kami pun tiba di dermaga, turun memasuki kapal dan segera berlayar menuju lautan lepas menuju pulau Peucang.
Kapal yang kami gunakan adalah jenis slow boat berbahan bakar solar. Kapal nelayan.
Tak heran begitu kami menjejakkan kaki di atas kapal ini, bau ikan langsung menyengat hidung. Mau pake parfum sebotol juga ga akan bisa ngalahin baunya yang super duper kuat itu. Jadi ya dinikmati aja pengalaman kaya begini... :)
Beruntung banget bisa mengalami perjalanan seperti ini, karena membuat kami bisa lebih bersyukur atas berbagai kemudahan yang selama ini kami dapatkan.
Kebayang kan gimana nasib nelayan2 itu yang tiap hari harus berjibaku dengan bau kaya begini..? Sementara kita biasanya nyium bau ikan di pasar aja udah mengerenyitkan muka. Beli ikan cuma di tunjuk2 aja karna males megang, sambil nawar abis2an. :))

Berhubung perjalanan laut menuju pulau Peucang memakan waktu sekitar 3 jam, jadi kami berusaha membuat diri senyaman mungkin di atas bangku kayu yang panjangnya ga lebih dari 1 setengah meter x lebar yang ga sampai 50 cm, dengan getaran mesin kapal yang saking kencengnya berasa kaya pakai vibrator ukuran XXXL. Hahaha:D Melepaskan pandangan mata sejauh mungkin, menikmati gumpalan awan2 senja yang terasa begitu dekat, membayangkan sebuah negeri di balik awan yang penuh dengan kedamaian, mengagumi keindahan sunset yang terbiaskan oleh awan mendung, merasakan belaian angin laut, memasrahkan diri pada kegelapan yang mulai memeluk alam, mencari Venus di langit yang bertabur bintang, berteman dengan ombak yang mulai meninggi menghantam kapal, membiarkan hujan memerciki wajah dan tubuh kami, menyerahkan diri sepenuhnya kepada Sang empunya jagat raya ini, tertegun akan kesadaran diri betapa kecil dan tidak berdaya nya manusia di tengah alam semesta ini...
Di temani oleh sinar temaram dari lampu petromak (satu2nya penerangan di kapal nelayan kami), sambil sesekali di basahi oleh ombak yang menghantam buritan kapal, hati ini melayang..., di goyang oleh arus yang begitu kuat...membuat jiwa ini terangkat dan terhempas dalam diam, menyatu dengan heningnya malam berharap badai ini akan segera berlalu. Pengalaman yang sungguh tidak akan pernah terlupakan, melintasi Tanjung Alang2 dalam kegelapan di waktu badai akan membuat hati manusia yang paling sombong pun akan menciut dan tersungkur di hadapan Nya.

Tak terasa, kami pun tiba di pulau Peucang.
Abk menurunkan jangkar, dan kapal yang kami tumpangi pun merapat ke dermaga.
Begitu menjejakkan kaki di dermaga, dan melihat sekeliling perairan di pulau Peucang, mulut ini ga berhenti2 nya berdecak kagum, memekikkan kehisteriaan meilhat keindahan air laut di sekitar pulau Peucang. Begitu jernih dengan gradasi warna dari bening, turquoise, biru muda seakan menyala di bawah sinar rembulan dan bintang malam itu.
Pemandu lokal kami pun mengantar kami ke pondok administrasi penginapan Flora dan Fauna. Kami menyewa 1 kamar non AC di penginapan Fauna (yang bisa buat bertiga atau berempat sebenarnya..) dengan harga 250 ribu rupiah / malam.
Berhubung saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam, kami pun menyuruh pemandu lokal kami untuk beristirahat bersama nahkoda dan abk di kapal, karena kami hanya akan berkeliling menyusuri pantai malam itu. Sekedar informasi, setiap tamu yang datang ke Ujung Kulon baik rombongan ataupun sendiri harus di dampingi oleh pemandu lokal supaya tidak tersesat.
Usai meletakkan barang2 di kamar, kami pun segera keluar menyusuri pantai menikmati suasana pulau Peucang di waktu malam. Sungguh indah. Begitu kontras dengan badai yang baru saja kami alami, suasana di pulau Peucang begitu tenang...
Lelah berjalan2, kami pun menghabiskan malam dengan duduk di teras penginapan sambil memandangi binatang2 yang mulai bermunculan. Rusa, monyet dan babi hutan malam itu turut menemani kami menikmati udara malam yang begitu sejuk di pulau Peucang.
Sampai akhirnya kami memutuskan untuk beristirahat di dalam kamar, menghangatkan diri dengan secangkir teh dan kopi. Malam itu kembali saya tidak merasa lapar, jadi hanya menemani suami yang kembali menyeduh pop mie untuk makan malam. Usai suami makan malam, kami pun bersih2, berdoa, dan bersiap tidur karena besok akan bangun subuh untuk melihat matahari terbit.

Notes: Peta Ujung Kulon di atas saya ambil dari informasi departemen kehutanan mengenai Taman Nasional Ujung Kulon.

*BERSAMBUNG*

Friday, May 07, 2010

Firasat


Pukul tiga dini hari
Di saat raga tersungkur, 'hati' melemah, jiwa terkulai lelah
Mata ini masih enggan menutup, setia menemani pikiran yang menari gelisah
Di usik oleh potongan2 rasa yang mendominasi altar kesadaran...

Sekian puluh menit dari pukul tiga dini hari
Masih tetap terbelit oleh untaian rasa parital
Menghadirkan riak di tengah hening nya malam
Batin pun tergugat akan kilatan rasa dari hati yang terperi...

Rasa yang sulit di jelaskan
Namun terlalu kasat untuk di abaikan
Menyeruak dari alam ketidaksadaran
Bermetamorfosis menjadi sebuah kesadaran...

Kesadaran yang sekejap menghentak rasionalitas
Melayang bagai kabut dini hari di pegunungan
Tidak bisa ku gapai namun hadir memeluk diri
Kesadaran yang membias antara ada dan tiada, bernama FIRASAT...

Firasat yang mampu meresahkan jiwa
Firasat yang mampu mendera rasionalitas
Firasat yang mampu menembus berbagai dimensi ruang dan waktu
Firasat yang mampu berpendar bagai lonceng gereja yang berdentang di kejauhan...

Mengguncang raga menyusuri rasa.

Notes: Ketika kebenaran 'Cogito Ergosum' ku pertanyakan...


Thursday, May 06, 2010

Berhenti Berharap

Sore ini buram.
Bagai senja tanpa jingga yang menemani.
Sendiri menyambut malam.
Terpaku pada rasa yang menyesakkan.
Gelisah.
Meronta.
Dari bayang yang mencengkeram.
Resah melilit rasa.
Menggoyahkan keyakinan.
Membuat hati terkulai.
Lemah.

Ingin aku berlari.
Mengejar matahari ku yang akan segera terbenam.
Berlari.
Dan terus berlari.
Berpacu melawan angin.
Bertarung melawan waktu.
Hingga kaki ini tak sangggup lagi untuk melangkah.
Hingga hati ini tak sanggup lagi untuk merasa.
Tersungkur.
Terjerembab di tepian pantai.
Tersedu dalam sepi.
Menanti matahari ku kembali mendekap rasa.

Notes: Langit pun perlahan menghitam. Pekat. Mengurai perih dalam diam.

Tuesday, May 04, 2010

I'll Stay With You

Related Posts with Thumbnails